Jul 9, 2008

Refreshing Nyok..


Serba dadakan. Antara ya & tidak akhirnya jadi juga berangkat ke Sumatera Barat. Jam 6 kami Start dari rumah setelah sarapan pagi lebih awal dari biasanya. Kita tidak terburu –buru karena rencananya mau nginap dulu di Harau Payakumbuh.
Dijalan selepas PLTA Koto Panjang ada yang tidak beres dengan Ban belakang. Terpaksa si Hubby montir dulu bongkar ban dan periksa, ternyata pengingat as nya longgar. Masalah baru kelar setelah diberesin di sebuah bengkel di Pangkalan. Setelah itu perjalanan mulai terasa nyaman.


Memasuki daerah Harau , kami sudah disambut bukit-bukit disekeliling. Home stay nya juga asyik banget, dingin dan suasanya dipedesaan. Dengan rumah kayu beratap ijuk, ruangan yang bersih standar bintang 1. 1 rumah ada yang 2 kamar. Masing-masing kamar 3 bed. 1 Bed king size dibawah, double bed diatas persis dekat plafon. Kalau datang rombongan bisa muat 10 orang deh untuk 1 kamar. Kamar mandinya dengan shower, ada yang terbuka atapnya dan tertutup. Kalau yg terbuka hiiiih dingiiin sekali. Yang terbuka biasanya vaforit orang asing (Bule), kami pilih yang tertutup aja.
Menu makannya aduh siip , samba lado, rebus daun ubi, gulai ikan. Halamannya bisa digunakan untuk outbound dan BBQ. Disalah satu cerukan dinding bukit ini kita bisa teriak-teriak maka akan terdengar gema atau echo, makanya homestay nya bernama ECHO. Teman ku yang rekomendasikan tempat ini mengatakan nama pengurus homestay ini Pak Eko, yg ternyata salah kaprah Home stay inilah yang bernama ECHO.Dibagian depan terhampar sawah dengan pematangnya yang berkelok-kelok. Berjalan ke arah kanan sejauh 1 kg kita akan sampai di air terjun sarasah bunta. Air gemericik turun disela batuan. Anak –anak balita bisa main air disini karena airnya dangkal. Tapi brrr dingiin.

Jika menuju kiri dari homestay kita akan sampai ke air terjun utama. Juga bisa naik ke pinggang bukit melewati tangga. Oh cuappek deh........Disini banyak pakis monyet loh..Tapi kami lebih senang yang di sarasah bunta.

Esok paginya perjalanan dilanjutkan ke Danau Singkarak. Memuaskan selera dengan pangek sumpu dan goreng ikan bilih. Anak-anak gak berani ke air karena tempat kami istirahat air danaunya lumayan dalam. Setelah istirahat sejenak kami melanjutkan ke Solok ke tempat pemandian air panas...sayang airnya butek dan digunakan sebagai tempat cuci umum oleh penduduk setempat, sehingga airnya kotor akibat penggumpalan busa sabun. Anak-anak tidak berminat disisni. Airnya juga tergolong panas. Untuk masuk ke air kita harus adaptasi dulu. Aku maksain diri juga berendam. Keluar dari air bukannya segar malah sakit kepala. Jangan-jangan kalau lebih lama lagi berendam pembuluh darah ku bisa pecah nih. Katanya disini tempat terapi orang yang kolesterol tinggi. Tapi efeknya pada diriku kok enggak enak, bawaannya ngantuk dan lemes.

Kita lanjut ke lubuk Silasih. Pemandangan kiri kanan yang indah karena kami sedang merayap di kaki Gunung Talang. Sakit kepalaku langsung lenyap. Udara sejuk dan matahari bersinar cerah. Anak-anak juga senang, bernyanyi tiada henti.Kami berhenti untuk membeli buah-buahan yang menggoda sepanjang jalan. Ada markisa, terong belanda, pisang, labu dan alpukat. Langsung sikat bleh. Ada seremnya juga sih karena banyak truk gede melewati jalan ini , mengangkut bartu bara atu semen.
Memasuki daerha ketinggian Hutan Raya Bung Hatta yang semakin rimbun. Kawasan hutan lindung ini masih terjaga hutannya. Dan ingatan ku melayang ke 20 tahun silam saat kami study tour dimasa SMA. Itulah saat terakhir aku menginjakkan kaki lagi disana. Sambil-mengingat dimana saja kami santai dahulu. Sayang lokasinya jauh berubah, anak-anak tidak suka berlama-lama disana. Takut macan kata mereka.Di Panorama Sitinjau Lauik yang artinya Melaihat Laut dari ketinggian, sudah dipenuhi orang. Kami tidak bisa masuk makanya kami teruskan perjalanan untuk berenang di Lubuk Paraku. Di pinggir jalan ada sebuah Truk Puso tergelincir masuk jurang. Macet sedikit karena ada pekerja yang mengevakuasi truk ini.

Lubuk Paraku masih seperti yang dulu. Dikelola secara tradisional oleh masyarakat setempat. Kekecewaan di pemandian air panas terobati sudah karena anak-anak bisa berenang di Lbk.Paraku. Air mengalir dan bebatuan besar-besar. Ada juga bagian yang dalamnya sekitar 2 m. Yang berenang hanya Hubby dan anak-anak. Aku jelas gak bisa karena tempatnya terbuka, cuma kebagian jadi cameraman dan photografer. Faiz menjerit-jerit karena dingin dan gembira. Bergelantung di pundak hubby persis anak tupai. Fira juga gak berani ketempat yang lebih dalam karena arus agak deras. Kami menyusuri sungai lebih ke hulu dan menanjak. Tak bisa terlalu jauh karena penuh semak dan juga disana dipasangi papan pengumuman ”dilarang melewati batas palang dan berbuat maksiat (berzina)”. Sebuah papan peringatan yang tegas.

Jam 4 kami memasuki kawasan Pabrik Semen Indarung Padang untuk Shalat (jamak 2 waktu Shalat) . Tujuan berikut adalah menunggu Sun Set di pantai Padang. Tapi dipinggir jalan kawasan Ganting (RS Tentara Ganting Padang) kami berleha-leha menyantap Durian dan Ketan merah yang lezat serta pulllen. Duriannya berasal dari Bungus dan masih tergolong mahal, karena musim durian baru tiba. Terburu-buru mengejar matahari terbenam dipantai. Sesampai di Pantai pas saat-saat matahari tenggelam. Sambil duduk di batu-batu pencegah abrasi kami makan jagung bakar dan udang goreng. Heran masih muat juga diperut ya setelah menggasak durian.

Perjalanan malam menuju Bukittinggi, diiringi kegelapan sepanjang jalan. Krisis listrik di seluruh tanah air. Memasuki Lubuk Alung baru ada penerangan jalan, sampai seterusnya Sicincin . Di Resort Lembah Anai gelap lagi. Air terjun jadi tidak menarik. Mendaki Silaing menuju Padang Panjang kami terjebak macet lama dn panjang. Selepas dari kemacetan hari sudah jam 8, perut juga mulai bernyanyi. Makan malam direncanakan di RM Aia Badarun gagal karena pengunjung sangat ramai. Kami akhirnya berbelok ke Samba Lado. Disisnipun kami harus menunggu agak lama karena nasi mereka habis. Untunglah kami mengakhiri perjalanan hari ini di rumah orang tua ku di Kota Bukittinggi.

Hari berikut tidak terlalu terburu-buru kami hanya City Tour di Bukittinggi. Tujuan Kamang, karena tahun ini bertepatan dengan peringatan 100 tahun Perang kamang. Mampir dulu di kampung asal mama di Tilatang. Menyambangi kebun cokelat dan sawah yang masih hijau. Jalanan sedikit keriting. Dikiri kanan sawah membentang dan kolam-kolam ikan. Di Tarusan kebetulan masih ada air. Wah pemandangannya bagus Desa yang di pagari bukit, tampat yang strategis untuk berlindung. Sayang peringatan Perang Kamang itu di Bulan Juni. Kami hanaya melihat sisa –sisa pacu rakik. Jika aku seorang pelukis tentu aku sudah abadikan di kanfas. Aku hanya bisa merekam di camera. Jika aku penulis puisi, keindahan ini pun akan ku tuliskan di bait –bait. Balik ke kota Bukittinggi lagi mobil sudah dipenuhi beras dan sayur mayur. Di drop dulu dirumah, tapi semua pada ngantuk. Suasana alam tadi telah menina bobokan kami dalam kantuk yang hebat. Sorenya setelah segar baru deh belanja ke pasar. Fira sempat beli sovenir untuk teman-temannya. Fikri dan Faiz ogah ikut. Kami bertiga malapeh salero di Pasar Atas. Ketemu dengan teman kuliah hubby yang sekarang dagang selimut di Pasar Atas. Janjian mau kerumah temannya juga batal karena lagi-lagi listrik mati.

Saatnya balik ke Pekanbaru, pagi jam 9 kami sudah meluncur di jalan raya Bukittinggi – Payakumbuh. Berbelok ke Ngalau Sampik Paya Kumbuh. Pagi itu kami jadi pengunjung pertama disana. Jalannya menanjak dan sempit. Dikiri-kanan jurang menganga tanpa pembatas jalan. Hanya pohon-pohonlah jadi pagar jalan. Memandang ke bawah Kota Payakumbuh membentang. Begitu juga dengan pabrik-pabrik bata dikaki bukit. Dipintu gua (ngalau) aku enggan masuk. Rencananya aku Cuma nunggu saja di pintu gua. Tapi kok rugi gak ikut masu masuk. Bau urine kelelawar dan suara-suara kelelawar membuat aku merinding. Aku tidak berani mengedarkan pandangan ke sekeliling, syreeem. Faiz juga ketakutan dan tetap bergelantung di leher hubby. Dari awal masuk hingga keluar gua posisi gendongannya tidak berubah. Bagi penggemar petualangan di goa mungkin terasa indah tapi bagi ku tidak . Suasananya membuat ku sesak dan ingin segera keluar. Nama-nama batu pun gak begitu ku ingat. Uh lega rasanya begitu melihat cahaya lagi......

Selepas makan siang dan shalat Zuhur-Ashar di Lubuk Bangku kami meneruskan perjalan untuk balik ke Pekanbaru. Setelah refreshing 4 hari kerjaan sudah menunggu. Kerja! Kerja! Kerja!

1 comment:

Anonymous said...

wah...
pengalaman yg mengasyikkan...
lapeh pulo taragak awak jo kampuang mancaliak gambar2 tu, tarimo kasih yo Ni...
salam kenal